PENGUMUMAN

TIGA TAHUN TOL LAUT : MENGUKUR EFEKTIFITAS DAN MERAIH EFISIENSI


Program Tol Laut bertujuan memastikan kehadiran Negara dalam ketersediaan (availability), keterjangkauan (accessibility), dan kemampuan (affordability) terhadap bahan-bahan pokok dan penting di pulau-pulau terluar, terpencil, dan terbelakang. Dalam bahasa lainnya, program ini bertujuan menurunkan disparitas harga barang tertentu antara pulau Jawa dan daerah-daerah lainnya.
Regulasi yang menjadi landasan Program Tol Laut adalah Perpres No. 106 Tahun 2015 tentang penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik (lazim disebut Public Service Obligation, PSO) Angkutan Barang di Laut. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) ditunjuk sebagai penyelenggara Program ini.

Sejak dimulai November 2015 dengan tiga trayek, dalam kurun tiga tahun (2017) sudah berkembang menjadi 13 trayek. Dari 13 trayek tersebut, 7 trayek dilaksanakan oleh PT. Pelayaran Nasional Indonesia (PT. Pelni) melalui penugasan, dan 6 trayek lainnya dioperasikan oleh swasta melalui mekanisme lelang. Dengan mensubsidi biaya pelayaran pada 13 trayek di atas, pemerintah menekan biaya logistik sehingga berdampak pada besaran harga barang di kota-kota tujuan masing-masing trayek tersebut.

Adapun barang-barang yang disubsidi biaya angkutnya terdiri atas Barang Pokok dan Barang Penting. Barang Pokok meliputi: (1) Hasil Pertanian: beras, kedelai, cabe, bawang merah; (2). Hasil Industri: gula, minyak goreng, tepung terigu; (3). Hasil Peternakan: Telur ayam ras, daging ayam ras, daging sapi; (4). Ikan Segar: bandeng, ikan kembung, tongkol/tuna/cakalang. Sementara yang dimaksud Barang Penting meliput: (1). Benih (Padi, Jagung, kedelai); (2). Pupuk non-subsidi; (3). Gas Elpiji 3 kg; (4). Triplek; (5). Semen; (6). Besi baja konstruksi; dan (7). Besi baja ringan.

Mengukur Efektifitas
Disparitas harga dapat diukur, dan berbanding lurus dengan besarnya indeks harga komoditi (IHK). Maka, efektifitas Tol Laut dapat diukur melalui IHK. Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat.

Pada Oktober 2017, pemerintah mengklaim Tol Laut berhasil menurunkan harga hingga 20 persen. Tidak dijelaskan apakah yang dimaksud adalah penurunan harga barang, atau penurunan disparitas harga sebagaimana tujuan Program Tol Laut.

Penelitian yang dilakukan Lutfia Nur Vitasari (Institut Teknologi SepuluhNopember, ITS) menyebutkan bahwa implementasi Tol Laut (2016) berdampak positif menurunkan nilai indeks harga hanya pada komoditi tertentu, yaitu minyak goreng (rata-rata 4,652% ), daging sapi (4,85%) dan Jagung (8.36%).  Walau berbeda waktunya (2016), angka di atas terbilang sangat kecil dibanding klaim pemerintah yang sebesar 20 persen di tahun 2017.




Prosentase Perubahan Nilai Indeks Harga (Lutfia Nur Vitasari)
Perbedaan tersebut bisa jadi disebabkan perbedaan metode perhitungan yang digunakan. Lutfia Nur Vitasari membandingkan perubahan Nilai Indeks Harga Komoditi (IHK) di kota Merauke, Manokwari, Ternate, Ambon,  dan Makasar terhadap IHK di Kota Surabaya. (lihat tabel).

Pengamat ekonomi konstitusi lulusan UGM, Defiyan Cory, berpendapat bahwa IHK dapat digunakan untuk menghitung efektivitas Tol Laut, namun meragukan validitas angka IHK yang diperoleh. Defiyan mengusulkan perlunya dibentuk semacam lembaga khusus untuk mengukur efektifitas Tol Laut (termasuk menghitung IHK).

Dengan adanya lembaga khusus yang profesional untuk menghitung dan mengevaluasi IHK secara periodik, lanjut Defiyan, pemerintah dapat berperan sebagai regulator secara penuh tanpa terlibat lagi dalam penentuan harga tertinggi dan harga terendah. Hal ini ditujukan agar pemerintah tak dicurigai memiliki konflik kepentingan (conflict of interest) dengan para pengusaha dalam menetapkan sebuah kebijakan sektoral.

Sementara Siswanto Rusdi, pengamat maritim dari NAMARIN, meragukan efektifitas Tol Laut. Rusdi melihat bahwa disparitas harga merupakan problem ekonomi yang tidak bisa dibebankan hanya pada pelayaran. Pembentukan harga di suatu tempat dipengaruhi oleh banyak faktor, tidak hanya biaya angkut.  Volume barang yang diangkut melalui program Tol Laut juga masih sangat kecil untuk dapat mempengaruhi pembentukan harga di tingkat konsumen.

Berdasarkan data yang dihimpun dari Kemenhub, jumlah muatan jenis general cargo Tol Laut sepanjang tahun 2016 mencapai 1.730 ton,  dengan rata-rata tiap bulannya sebesar 157 ton.  Sedangkan untuk jenis muatan peti kemas mencapai 2.853 TEUS dengan rata-rata 356 TEUS per bulannya. Jumlah di atas terbilang kecil dibanding volume muatan domestik.

Libatkan Swasta Demi Efisiensi
Dalam pemaparan sektor Perhubungan Laut dalam Rembug Nasional 23 Oktober 2017, untuk mengurangi besar biaya subsidi, pemerintah akan menggabungkan rute Tol Laut dengan rute pelayaran komersil yang telah ada. Dengan cara ini, muatan tol laut dinaikkan ke kapal komersil hingga sampai pelabuhan tertentu, kemudian dilanjutkan oleh kapal Tol Laut, yang bersubsidi, hingga daerah tujuan program Tol Laut.

Misalnya pada rute Jakarta-Makassar dan sebaliknya. Kedua rute tersebut selama ini sudah dilayani oleh sekitar 12 pelayaran swasta nasional.  Dengan penggabungan pada kedua rute ini, kapal Tol Laut cukup memulai pelayaran dari Makassar menuju pelabuhan tujuan sesuai trayeknya.  Pada pengembangan berikutnya, pelabuhan Makassar dapat dikembangkan menjadi hub port (pelabuhan pengumpul) muatan Tol Laut untuk kawasan timur Indonesia.
Selain dapat mengurangi besaran subsidi, penggabungan rute di atas juga merupakan respon pemerintah terhadap kritik dari para pengusaha pelayaran swasta terhadap program Tol Laut.
Menuju konektivitas laut yang sehat memang masih panjang. Untuk itu, evaluasi dan optimasi harus terus dilakukan. Publik berharap tujuan mulia Tol Laut, yaitu menurunkan disparitas harga barang dan kesenjangan antar wilayah, dapat dicapai melalui kerja bersama seluruh stakholder pelayaran nasional.

Sumber : jurnalmaritim.com

No comments:

Post a Comment

SMK PELAYARAN HANG TUAH KEDIRI Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Theme images by konradlew. Powered by Blogger.
Published By 0