JAKARTA (21/2) – Sebagai salah satu negara ASEAN, Indonesia melalui Kementerian Perhubungan Cq. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut turut mendukung terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN melalui peningkatan kerjasama-kerjasama regional guna meningkatkan konektivitas di kawasan ASEAN.
Salah satu upaya tersebut diwujudkan melalui keterlibatan Indonesia pada kerjasama regional Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA). Peran dari institusi sub-kawasan BIMP-EAGA sangat penting sebagai perpanjangan tangan dari MEA untuk meningkatkan konektifitas dalam rangka meningkatkan pembangunan ekonomi Negara anggota.
Demikian disampaikan oleh Direktur Lalulintas dan Angkutan Laut, Dwi Budi Sutrisno saat ditemui di kantor pusat Kementerian Perhubungan hari ini (21/2) di Jakarta.
“Sub-regional connectivity adalah salah satu isu yang menonjol dalam kerja sama ekonomi sub-regional termasuk BIMP-EAGA karena diharapkan dapat mendukung terwujudnya regional connectivity di wilayah ASEAN sebagaimana yang termaktub dalam ASEAN Master Plan on Connectivity,” jelas Dwi Budi.
Untuk itu, pembangunan infrastruktur guna meningkatkan konektivitas, menurut Dwi, menjadi pokok pembahasan utama pada Sea Linkages Working Group yang diadakan pada Pertemuan BIMP-EAGA Strategic Planning Meeting (SPM) ke-10, yang diselenggarakan di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam pada tanggal 11-14 Februari 2018 lalu.
Pada pertemuan dimaksud, Staf Ahli Menko Perekonomian Bidang Hubungan Ekonomi dan Kebudayaan, Raldi Koestoer, mengetuai Delegasi Indonesia yang terdiri dari perwakilan Kementerian Perhubungan, Kementerian Perdagangan, Bappenas, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian ESDM, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi, BKPM, BPS, BNPP, Pemprov Kaltara, Kadin Sulawesi Selatan, serta Kadin Sulawesi Utara.
Adapun Ditjen Perhubungan Laut pada pertemuan dimaksud tergabung dalam Sea Linkage Working Group (SLWG) yang dipimpin oleh Malaysia sebagai ketuanya.
Dwi Budi, menjelaskan, bahwa pada SLWG, Indonesia telah mengupdate Priority Infrastructure Project (PIPs), proyek-proyek pembangunan dan pengembangan pelabuhan, yakni proyek Manado-Bitung Link (Bitung International Port Expansion), Manado-Bitung Link (Manado Port Expansion), dan Makassar New Port.
Dwi berujar bahwa, proyek Bitung International Port Expansion Fase I telah selesai pada tahun 2017 kemarin, sedangkan Fase II rencananya akan berlangsung mulai 2018 hingga 2021, di antaranya reklamasi pada sisi selatan, dredging, lanjutan pembangunan dermaga 4 dan pembangunan pergudangan.
“Rencananya kita akan menyelesaikan Rencana Induk Pelabuhan pada tahun 2018, sehingga diharapkan pembangunan konstruksi dapat dimulai pada tahun 2019, sedangkan Fase III akan kita mulai pada tahun 2021-2024,” jelas Dwi.
Sedangkan proyek Manado Port Expansion Fase I (2018-2021) meliputi pembangunan dermaga, reklamasi untuk container yard serta pembangunan trestle telah dimulai dan diharapkan selesai tepat waktu sehingga dapat dilanjutkan ke Fase II (2021-2024) di mana akan dilakukan pembangunan dermaga reklamasi untuk container yard dan perluasan container yard dan dilanjutkan ke Fase III, yang rencananya akan dilaksanakan pada kurun waktu 2024-2029.
Adapun untuk Proyek Makassar New Port telah memasuki Fase I (2018-2021), yang meliputi pembangunan dermaga, reklamasi untuk container yard, dredging breakwater dan akses jalan. Pada fase ini disiapkan juga untuk pembangunan terminal container dengan kapasitas 1 Juta TEUs per tahun.
Pada SLWG ini, Indonesia juga membahas mengenai update proyek-proyek Strategis (Strategic Priority), meliputi Davao-General Santos-Bitung Shipping Services dan Non-Convention Sized Ship.
“Rute Davao-General Santos-Bitung ini direncanakan dapat dimulai pada bulan Maret 2018 mendatang. Kemarin kita sudah membahas usulan penggunaan kapal berkapasitas 120 TEUs dan 200 penumpang untuk melayani rute ini dan juga mengenai komoditi yang dapat diangkut, yaitu ikan, agrikultur, steel bars, artonmiz asphalt/concrete instant, buah kalengan, dan commercial goods,” kata Dwi.
Namun demikian, Dwi menambahkan bahwa masih perlu dilakukan konsolidasi dengan Kementerian/Lembaga/Institusi terkait mengenai persetujuan dan perizinan, serta keberlangsungan rute ini.
Pada SLWG, dibahas pula mengenai Non-Convention Sized Ship, yaitu mengenai keberlanjutan dari shipping services di antara negara-negara anggota BIMP-EAGA yang memungkinkan terlaksananya kegiatan ekspor-impor barang-barang komersial. Adapun pelaksanaannya akan dilakukan secara bilateral melalui MOU on NCSS antara negara anggota BIMP-EAGA. “Rencananya, kita akan mengadakan pertemuan bilateral dengan Pemerintah Malaysia pada bulan Maret mendatang,” tambah Dwi.
Selain proyek-proyek terkait Sektor Transportasi, pada SLWG ini dibahas pula mengenai kemungkinan untuk meningkatkan jumlah rute pelayaran cruise di antara negara-negara anggota BIMP-EAGA, yang merupakan proyek yang berkaitan dengan Sektor Pariwisata. Dengan meningkatnya rute pelayaran cruise diharapkan secara otomatis dapat meningkatkan jumlah turis. Penyediaan infrastruktur yang memadai oleh setiap negara anggota tentunya diperlukan guna mencapai output yang diharapkan.
Terkait hal tersebut, Indonesia telah menawarkan 4 (empat) Pelabuhan sebagai destinasi wisata dalam wilayah BIMP EAGA untuk dikembangkan, yaitu Pelabuhan Sorong, Pelabuhan Bitung/Manado, Pelabuhan Makassar, dan Pelabuhan Tarakan.
“Untuk proyek ini, kita membutuhkan dukungan dari Sektor Pariwisata dalam bentuk promosi dan pemasaran, sehingga pembangunan infrastruktur dan sarana/prasarana pelabuhan diharapkan dapat berkembang seiring dengan meningkatnya daya Tarik wisatawan untuk berkunjung,” tutup Dwi.
Sebagai informasi, kerja sama Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA) dibentuk secara resmi pada Pertemuan Tingkat Menteri (PTM) ke-1 di Davao City, Filipina pada tanggal 26 Maret 1994. Kerja sama tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat di daerah perbatasan negara-negara BIMP-EAGA. Para pelaku usaha diharapkan menjadi motor penggerak kerja sama dimaksud sedangkan pemerintah bertindak sebagai regulator dan fasilitator.
Wilayah Indonesia yang menjadi anggota BIMP-EAGA adalah Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.
Pertemuan tertinggi BIMP-EAGA adalah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) kemudian Pertemuan Tingkat Menteri, Pertemuan Tingkat Pejabat Senior, dan pertemuan teknis di bawah SOM. Pertemuan teknis di bawah SOM terdiri atas cluster dan task force, yaitu : (a) Cluster on Natural Resources Development, diketuai oleh Indonesia (b) Cluster on Transport, Infrastructure, and Information, Communication, and Technology Development (TIICTD), diketuai oleh Brunei Darussalam (c) Cluster on Joint Tourism Development (JTD), diketuai Malaysia (d) Cluster on Small and Medium Enterprises Development (SMED), diketuai oleh Filipina. (e) Task Force on Customs, Immigration, Quarantine, and Security, diketuai oleh Filipina.
Salah satu isu yang menonjol dalam kerja sama ekonomi sub-regional termasuk BIMP-EAGA adalah sub-regional connectivity. Dalam hal ini, sub-regional connectivity diharapkan mendukung terwujudnya regional connectivity di wilayah ASEAN sebagaimana yang termaktub dalam ASEAN Master Plan on Connectivity.
BIMP-EAGA memandang penting konektivitas sebagai salah satu instrumen kunci dalam mewujudkan visi BIMP-EAGA sebagai salah satu lumbung pangan dan pusat pariwisata alam di ASEAN dan wilayah lain di Asia. Terkait hal ini para pemimpin BIMP-EAGA dalam pertemuannya di Hua Hin, 28 Oktober 2011 telah menetapkan BIMP-EAGA Infrastructure Project Pipeline (PIP).
Selain konektivitas dan pariwisata alam, fokus bidang kerja sama BIMP-EAGA adalah ketahanan pangan. BIMP-EAGA saat ini sedang melakukan pembahasan mengenai Food Basket Strategic Plan of Action sebagai upaya untuk mewujudkan visinya sebagai salah satu pusat lumbung pangan ASEAN dan wilayah lain di Asia.
Sedangkan pihak luar BIMP-EAGA yang selama ini membantu pengembangan kerja sama dimaksud adalah Asian Development Bank (ADB) sebagai development partner dan regional adviser; Jepang dan China sebagai development partner; GTZ sebagai strategic partner. Selain itu, BIMP-EAGA juga menjalin kerja sama dengan Northern Territory, Australia.
Sumber : djplkemenhub151
No comments:
Post a Comment