Akhir-akhir ini kita sering mendengar rencana pemerintah untuk
‘menjual’ sejumlah pelabuhan (dan bandara) di Indonesia kepada badan
usaha, baik BUMN maupun BUMS (Swasta, dalam negeri dan asing). Ada
sejumlah alasan yang mengemuka terkait rencana tersebut, antara lain
untuk meningkatkan fasilitas dan pelayanan, serta mengurangi beban APBN.
Namun, rencana di atas tak sedikit mengundang kritik dan respon
negatif, jika tidak mau disebut sedikit kegaduhan, yang datang dari
berbagai kalangan. Sepanjang pengamatan, penyebabnya tak lebih karena
kata ‘menjual’ dan ‘swastanisasi’ yang kerap digunakan oleh kalangan
pejabat negara saat mensosialisasikan rencana tersebut. Ditambah dengan
kurang familiar-nya kalangan media massa tentang regulasi kepelabuhan nasional.
Jika mau menengok kepada aturan pelabuhan (dan bandara) yang berlaku, harus diakui bahwa penggunaan dua kata di atas tersebut memang kurang tepat dan cenderung mudah disalahpahami oleh publik awam.
Pelabuhan dan Kepelabuhanan sudah diatur dalam UU No. 17/2008 tentang Pelayaran. Undang-undang ini diperkuat oleh regulasi turunannya, yaitu PP No. 61/2009 tentang Kepelabuhanan, yang diperbaharui oleh PP No. 64/2015. Selain itu ada sejumlah Permenhub yang mengatur level pelaksanan dan teknis.
Dalam hal pengelolaan pelabuhan, perubahan terpenting dalam UU
17/2008 adalah dilakukannya pemisahan Regulator dan Operator.
Sebelumnya, peran regulator dan sekaligus sebagai operator di Pelabuhan
dipegang oleh PT Pelindo (I-IV).
Dengan lahirnya UU 17/2008, pengelolaan pelabuhan dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan (BUP). Hingga saat ini, selain Pelindo (I-IV), ada puluhan perusahaan lainnya yang sudah memiliki status sebagai BUP. Sedangkan untuk menjalankan fungsi regulator, pemerintah membentuk Otoritas Pelabuhan (OP), yang dalam dunia maritim internasional disebut Port Authority. OP adalah lembaga pemerintah di pelabuhan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan yang diusahakan secara komersial.
Untuk pelabuhan yang belum komersil, peran operator dilaksanakan oleh
Unit Pelaksana Teknis (UPT) dan regulator dilaksanakan oleh Unit
Penyelenggara Pelabuhan (UPP). UPT dan UPP merupakan unit yang dibentuk
oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan dibiayai oleh APBN. Gambar 1
dan 2 menjelaskan pembagian peran di pelabuhan paska diberlakukannya UU
No. 17/2008.
Skema yang sama juga berlaku pada dunia penerbangan. Dalam UU No.
1/2008 tentang Penerbangan, dikenal istilah BUBU (Badan Usaha Bandar
Udara) yang berperan sebagai operator, dan Otoritas Bandara (Otban)
sebagai regulator pada bandara komersil.
Landlord Port atau pelabuhan sistem sewa adalah istilah yang
sering digunakan oleh kalangan akademisi dan praktisi bisnis pelabuhan
dalam menjelaskan rezim pengelolaan pelabuhan yang diamanatkan UU No.
17/2008. Istilah ‘Landlord Port’ memang tidak disebut dalam UU No.
17/2008 dan lebih mengacu pada praktek pengelolaan pelabuhan yang umum
berlaku di negara-negara lain.
UU No. 17/2008 mengenal hierarki pelabuhan yang terdiri atas Pelabuhan Utama, Pelabuhan Pengumpul, dan Pelabuhan Pengumpan. Pembangunan dan pengelolaan pelabuhan diatur berdasarkan hierarki pelabuhan dan dituangkan dalam RIPN (Rencana Induk Pelabuhan Nasional). Dari sini saja, terlihat bagaimana ketatnya pengaturan pelabuhan di Indonesia.
Dalam konteks rencana pemerintah di atas, sebenarnya dimaksud oleh Kemenhub adalah ‘mengalihkan’ pengelolaan sejumlah pelabuhan non-komersil kepada BUP. Sekitar 20 pelabuhan yang ditawarkan adalah pelabuhan non komersil, yang selama ini dikelola oleh UPT. Maka, dengan dilakukannya ‘pengalihan’ pengelolaan kepada BUP, pemerintah secara otomatis harus membentuk OP, atau menunjuk OP pelabuhan terdekat menjadi regulatornya.
Pengaturan konsesi yang diatur dalam PP No. 64/2015 tentang Kepelabuhanan, meliputi tiga aspek, yaitu: (1) Konsesi dituangkan dalam bentuk penjanjian; (2) Pemberian konsesi melalui mekanisme pelelangan atau penugasan/penunjukan; (3) Pemberian konsesi melalui penugasan/penunjukan harus memenuhi dua persyaratan utama, yaitu: (a). Lahan dimiliki oleh BUP; dan (b). Investasi sepenuhnya dilakukan oleh BUP alias tidak menggunakan pendanaan yang bersumber dari APBN/APBD.
Dapat disimpulkan bahwa UU No. 17/2008 dan regulasi turunannya memang memungkinkan pemerintah untuk mendelegasikan pengelolaan pelabuhan kepada BUP. Yang perlu menjadi catatan adalah bagaimana praktek pengalihan pengelolaan pelabuhan UPT kepada BUP, sebagaimana rencana pemerintah di atas?. Apakah melalui mekanisme pelelangan atau melalui penugasan/penunjukkan dengan syarat dan ketentuan yang sudah diatur dalam PP No. 64/2015 tentang Kepelabuhanan. Mari kita tunggu bersama.
Sumber : jurnalmaritim.com
No comments:
Post a Comment